Minggu, 21 Juni 2009

Konflik Antar Pengurus Organisasi Advokat yang Berkepanjangan

Oleh: Frans Hendra Winarta *)
[20/6/09]


Pada umumnya di dunia dikenal beberapa bentuk bar associatio. Single bar association, yaitu hanya ada satu organisasi Advokat dalam suatu yurisdiksi (wilayah hukum); multi bar association yaitu terdapat beberapa organisasi advokat yang masing-masing berdiri sendiri; dan federation of bar associations yaitu organisasi-organisasi advokat yang ada bergabung dalam federasi di tingkat nasional, dalam hal ini sifat keanggotaannya adalah ganda, yaitu pada tingkat lokal dan nasional.
Pada awalnya yaitu semenjak kemerdekaan, Indonesia menganut multi bar association, hal ini ditandai dengan terbentuknya beberapa organisasi advokat, dimulai dengan terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAl) pada tanggal 14 Maret 1963, dan kemudian digantikan oleh Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo, Pusat Bantuan Dan Pengabdi Hukum Indonesia (PUSBADHI) dan lain-lain.

Sejarah dan Kiprah Peradin
Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, PERADIN konsisten mengawal konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP (Peraturan Pemerintah) dan Undang-Undang (UU) yang bertentangan dengan konstitusi diprotes keberadaannya dan karena kiprahnya dianggap sebagai l’enfant terrible (si anak nakal) karena protes-protesnya menentang penyimpangan atas UUD 1945 oleh pemerintah dan MPR/DPR waktu itu. Bahkan pernah dianggap sebagai disiden.

Bukan itu saja, badan extra judicial seperti Kopkamtib diprotes keberadaannya, belum lagi masalah “petrus” (penembak misterius) yang membunuh para pelaku kejahatan (underworld), juga diprotes oleh PERADIN karena dianggap melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup (right to life). Pembelaan PERADIN terhadap perkara politik anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) dan orang-orang yang dituduh mau mendirikan negara Islam, dianggap sebagai perwujudan sikap nonpolitik yang membela siapa pun yang membutuhkan pembelaan (legal counsel), terlepas dari latar belakang ideologi politik yang dianut, ras, agama, warna kulit, gender, strata sosial, ekonomi, budaya, suku dan lain-lain. Justice for all itulah sikap PERADIN waktu itu. Keberadaan moral dan konsistensi yang diemban PERADIN inilah yang menjanjikan organisasi advokat ini begitu harum namanya di forum internasional, sebagai organisasi yang independen.

Dalam upaya membungkam organisasi advokat yang vokal ini, pemerintah ORBA memprakarsai pembentukan wadah tunggal para advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Kongres advokat pertama atau musyawarah nasional (munas) ini diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1985. Dari kongres yang diselenggarakan pada tanggal 8-10 November 1985 tersebut bergabung 10 organisasi advokat dan bantuan hukum ke dalam wadah tunggal yang akhirnya kandas karena tidak bottom up, melainkan top down, dalam arti segala hal diatur dari atas c.q. pemerintah, dan bukan aspirasi para advokat sendiri. Dengan berdirinya AAI (Asosiasi Advokat Indonesia) tahun 1991, lengkaplah kegagalan inisiatif untuk membentuk organisasi tunggal profesi hukum, terlebih lagi kemudian berdiri organisasi advokat baru seperti AAI (Asosiasi Advokat indonesia), SPI (Serikat Pengacara Indonesia), HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal), HAPI (Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia), APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia), dan AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia).

Pembentukan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
Pada tanggal 5 April 2003, Pemerintah Republik Indonesia telah mensahkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), dimana UU Advokat mengamanatkan pembentukan organisasi tunggal advokat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, dan organisasi advokat tersebut paling lambat terbentuk pada tahun 2005, dengan kata lain 2 tahun setelah UU Advokat diundangkan yaitu pada tahun 2003. Oleh karena itu, guna memenuhi ketentuan dalam UU Advokat tersebut, maka pada bulan Desember 2004 dideklarasikan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang merupakan perwujudan dari single bar association dan juga merupakan sinyal positif akan bersatunya profesi advokat Indonesia dalam suatu organisasi tunggal profesi advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.

Akan tetapi, sekali lagi pembentukan PERADI tersebut menimbulkan polemik di beberapa anggota organisasi advokat, dimana lantaran pembentukannya tidak transparan, tidak mengindahkan hak-hak anggota untuk memilih pengurusnya secara bebas, tidak adil dan tidak akuntabel. Alhasil tidak memenuhi syarat pembentukan national bar association yang demokratis. Salah satu bentuk dari ketidakpuasan itu akhirnya ditampung dalam bentuk deklarasi Kongres Advokat Indonesia (KAI). KAI muncul sebagai akumulasi kekecewaan advokat terhadap PERADI. Seperti diketahui, KAI lahir dari deklarasi empat organisasi advokat yaitu IPHI, Ikadin (tandingan), HAPI dan APSI bersepakat untuk mendesak diselenggarakannya kongres advokat seluruh Indonesia. Desakan tersebut lahir karena 4 organisasi itu menampung keresahan advokat atas keberadaan PERADI yang dianggap tidak sensitif terhadap program reformasi hukum dan upaya pemberantasan mafia peradilan, serta tidak memperjuangkan harkat dan martabat advokat.

Dengan dibentuknya KAI tersebut menimbulkan sengketa antara pengurus PERADI dengan pengurus KAI, dimana keduanya mengklaim sebagai national bar association sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Advokat. Sengketa tersebut hingga kini tidak kunjung usai, yang mana baik pengurus PERADI maupun pengurus KAI selain masing-masing mengklaim sebagai national bar association yang sah, juga menganggap rivalnya sebagai national bar association yang tidak sah. Hal tersebut dapat diketahui bahwa KAI menganggap pembentukan PERADI tidak sah karena pengangkatan pengurusnya dilakukan secara tidak transparan, tidak mengindahkan hak-hak anggota untuk memilih pengurusnya secara bebas, tidak adil dan tidak akuntabel. Sedangkan di sisi lain, pengurus PERADI menganggap keberadaan KAI bukanlah national bar association yang sah karena KAI dibentuk melampaui jangka waktu pembentukan organisasi tunggal advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Advokat.

Adanya konflik antar pengurus organisasi advokat ini patut disesalkan, karena bukan sekali ini saja organisasi advokat menjadi ajang konflik bagi para advokat. Menanggapi perkembangan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Ketua Mahkamah Agung No.: 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 perihal Sikap Mahkamah Agung terhadap Organisasi Advokat (“Surat Mahkamah Agung”), yang pada intinya menyatakan perselisihan mengenai organisasi advokat mana yang sah harus diselesaikan secara internal advokat dan untuk itu hingga perselisihan a quo belum terselesaikan, Mahkamah Agung meminta kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap perselisihan tersebut, diantaranya Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU Advokat. Hal tersebut tentunya menimbulkan efek negatif terhadap organisasi advokat sendiri, khususnya para calon advokat yang sedang menanti untuk diambil sumpahnya menjadi advokat. Efek negatif tersebut secara tidak langsung juga berdampak negatif kepada para pencari keadilan dan masyarakat. Yang pasti perseteruan antar pengurus 2 organisasi advokat tersebut menyebabkan pengawasan dan pendisiplinan profesi advokat menjadi terlantar, yang berakibat pelanggaran kode etik advokat tidak dapat ditindak dan dikenakan sanksi sebagaimana mestinya.

Fakta Sejarah Organisasi Advokat dan Perkembangan Terakhir
Melihat sejarah organisasi advokat di Indonesia dan berdirinya bermacam organisasi profesi hukum sangat membingungkan organisasi advokat internasional dan national bar association negara-negara lain dengan siapa mereka harus berbicara sebagai wakil (yurisdiksi) Indonesia untuk mengundang atau menyelenggarakan seminar atau konferensi advokat internasional.

Timbulnya perselisihan antara pengurus PERADI dengan KAI menunjukkan bahwa pembentukan single bar association dilakukan dengan setengah hati dan tidak sesuai aspirasi advokat. Gagalnya kembali pembentukan single bar association ini juga menunjukkan perlunya reformasi internal organisasi, antara lain perlunya penerapan good governance seperti pemilihan pengurus yang transparan dan demokratis, dan transparansi pengelolaan keuangan organisasi, selain itu secara alami dan dengan melihat sejarah pembentukan organisasi advokat yang ada selama ini adalah bentuk multi bar association. Dimana di dalam dunia internasional, bentuk multi bar association merupakan bentuk organisasi advokat yang sudah umum diterima, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 IBA Standards for the Independence of the Legal Profession yang menyatakan:

“There shall be established in each jurisdiction one or more independent self governing associations of lawyers recognized in law, whose council or other executive body shall be freely elected by all the members without interference of any kind by any other body or person. This shall be without prejudice to their right to form or join in addition other professional associations of lawyers and jurists”.

Melihat sejarah pembentukan organisasi advokat di Indonesia yang selalu mengalami masalah jika ingin disatukan dalam wadah tunggal organisasi advokat (single bar association), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya secara alamiah (naturally created condition) Indonesia menganut multi bar association yang mana dapat terlihat dari banyaknya jumlah organisasi advokat yang ada, sehingga solusi terbaik dalam mengatasi kisruh mengenai wadah tunggal organisasi advokat (single bar association) adalah dengan mengakui bahwa sistem multi bar association adalah yang cocok untuk diterapkan di Indonesia dan tidak memaksakan dibentuk sistem single bar association. Selama era IKADIN dan PERADI ternyata organisasi-organisasi advokat yang bergabung tetap saja berfungsi dan tidak meleburkan diri ke dalam single bar association. Selain sistem multi bar association, sistem organisasi advokat lain yang cocok diterapkan di Indonesia adalah federation of bar association sebagai alternatif lain. Dalam sistem federation of bar association, organisasi-organisasi advokat yang ada akan memilih Dewan Pengurus Federasi di tingkat pusat untuk menjadi perwakilan mereka diantaranya dalam hubungan internasional dan mempunyai wewenang atas penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”) atau bar examination. Sedangkan penyelenggaraan ujian advokat dan kursus advokat dapat diselenggarakan oleh suatu lembaga independen yang khusus ditunjuk untuk itu, dimana hal tersebut bertujuan agar bar association tidak terperangkap dalam komersialisasi jabatan dan komersialisasi dalam mengurus kursus dan ujian advokat.

Berdasarkan uraian di atas, maka sebaiknya UU Advokat diamandemen mengikuti aspirasi advokat dan karakteristik dari tatanan organisasi advokat yang ada dengan memilih multi bar association atau federation of bar associations, dimana merupakan suatu hal yang tidak realistis apabila bentuk single bar association masih saja dipaksakan untuk diberlakukan di Indonesia karena secara alamiah, bentuk organisasi advokat yang dianut oleh Indonesia adalah multi bar association atau federation of bar association. Dengan demikian diharapkan konflik antar pengurus organisasi advokat yang berkepanjangan di Indonesia dapat diselesaikan, sehingga organisasi advokat dapat berperan secara maksimal dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai organisasi advokat demi terwujudnya hukum yang dapat memberikan keadilan bagi para pencari keadilan (justitiabele).


*) Penulis adalah advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Sumber tulisan :

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=22359&cl=Kolom

Kamis, 11 Juni 2009

PENDATAAN ULANG ADVOKAT PERADI

Sehubungan dengan akan berakhirnya masa berlaku Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA), Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada tanggal 31 Desember 2009, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi akan melakukan pendataan ulang dan penerbitan KTPA.

Selengkapnya informasi dapat diunduh dari : http://www.peradi.org

Sabtu, 30 Mei 2009

ALTERNATIF MENYIKAPI KEBIJAKAN PEMERINTAH

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.

ABSTRACT
Dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam perspektif hukum, upaya yang dibenarkan dalam memperjuangkan hak dan kepentingan adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan main dan koridor hukum. Meskipun pendekatan hukum bukan satu-satunya solusi, tetapi eksistensinya sangat diperlukan, terutama sebagai sarana justivikasi yang dapat mendukung dan bersinergi dengan upaya-upaya lainnya. Apabila pendekatan hukum yang kemudian menjadi pilihan, maka yang perlu dicermati adalah kebijakan pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan pemerintah yang mana, karena masing-masing tentunya memiliki implikasi hukum yang berbeda.

A. Pendahuluan
Apabila rakyat ditanya tentang bagaimanakah sosok pemerintahan yang diinginkan, tentu semua menghendaki agar negara dikelola dan diurus oleh pemerintahan yang baik. Alasannya sederhana, pemerintahan yang baik (good governance) senantiasa berbuat yang terbaik bagi rakyat dan bangsanya, yaitu berupaya memikirkan bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup lebih sejahtera dan bangsanya mempunyai martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa yang lain.
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan rakyat. Yang terjadi kemudian bisa ditebak, rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Bahkan banyak rezim otoriter di dunia dapat dijatuhkan karena demonstrasi rakyatnya, seperti di Philipina, Korea Selatan dan lain-lain. Kekuasaan Orde Barupun yang bercokol selama lebih 32 tahun, akhirnya runtuh dari panggung kekuasaan politik karena akumulasi desakan rakyat yang antara lain dilakukan melalui demonstrasi.
Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, di antaranya kasus kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), telepon, kasus Freeport di Timika, Blok Cepu yang akhirnya dikuasai pihak Exxon Mobil dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Khusus mengenai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) secara resmi pemerintah akhirnya bersedia juga membatalkan kenaikan tarif dasar listrik paling tidak untuk sementara waktu tahun 2006 ini.
Dalam perspektif hukum, cara-cara yang dibenarkan dalam memperjuangkan hak dan kepentingan adalah cara-cara yang sesuai dengan aturan main dan koridor hukum. Dalam konteks itulah, upaya menolak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan rakyat banyak, di samping dapat digunakan cara seperti dialog dan demonstrasi, tetapi tidak kalah pentingnya dengan menggunakan cara pendekatan hukum (legal approach). Pendekatan hukum merupakan cara yang relatif lebih proporsional, elegan dan legitimate, dengan tingkat resiko yang minimal dalam menimbulkan jatuh korban, meskipun cara ini umumnya memakan waktu lebih lama. Pendekatan hukum ini juga merupakan sarana justivikasi, yang dapat mendukung dan bersinergi dengan cara-cara lain yang telah ditempuh, untuk “menggoalkan” suatu tujuan.
Apabila yang hendak ditempuh melalui pendekatan hukum, ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dicermati lebih lanjut. Pertama, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan administrasi negara yang mana, apakah dituangkan dalam bentuk surat keputusan ataukah dalam bentuk lainnya? Hal ini tentu akan membawa konsekwensi hukum yang berbeda. Kedua, mengingat pada umumnya kebijakan pemerintah tersebut merugikan kepentingan rakyat banyak, langkah atau tuntutan hukum manakah yang paling tepat digunakan? Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya mengkaji dan membahas beberapa permasalahan tersebut.

B. Kategori Perbuatan Pemerintah
Perbuatan pemerintah atau administrasi negara pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga macam : a. mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling) ; b. mengeluarkan keputusan (beschikking), dan ; c. melakukan perbuatan material (materielle daad). Dalam melakukan perbuatan tersebut, pemerintah tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian terhadap warga masyarakat.
Dari ketiga macam perbuatan pemerintah tersebut, masing-masing mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan atau sering disebut hak menguji materiel (judicial review) berdasarkan Pasal 11 ayat (2b) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Sementara itu, apabila mendasarkan pada Pasal 24C UUD 1945 dan ketentuan Pasal 10 ayat (1a) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan melakukan judicial review juga dimiliki Mahkamah Konstitusi, yang mempunyai tugas dan kewenangan di antaranya adalah memeriksa, mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia .
Selanjutnya apabila menyangkut perbuatan mengeluarkan keputusan (beschikking) yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan kewenangan untuk menilai perbuatan materiel diserahkan kepada peradilan umum yang didasarkan pada penafsiran yang luas dari pasal 1365 KUH Perdata.

Judicial Review
Kewenangan menilai peraturan perundang-undangan (judicial review) sekarang ini dengan keluarnya TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah ada kemajuan yang cukup signifikan. Karena pengujian peraturan perundang-undangan bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. Sebelumnya menurut Pasal 26 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14 tahun 1985, pengujian peraturan perundang-undangan bersifat pasif dan dapat dilakukan berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pada dasarnya Judicial review hanya dapat dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan hierarkhi yang ada. Sedang tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sekarang ini lebih sederhana sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari : 1. UUD 1945 ; 2. Undang-Undang/PERPU ; 3. Peraturan Pemerintah ; 5. Peraturan Presiden (PERPRES) ; 5. Peraturan Daerah (PERDA). Di luar ketentuan hierarkhi peraturan perundang-undangan tersebut, seperti halnya Keputusan Menteri adalah termasuk dalam kategori sebagai peraturan kebijakan (bellied regel), oleh karenanya sesuai aturan main tidak dapat dimintakan judicial review ke Mahkamah Agung. Upaya hukum terhadap peraturan kebijakan (bellied regel) yang dianggap merugikan dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke PTUN atau dapat pula digugat melalui Peradilan Umum apabila keputusannya bersifat keperdataan.
Seperti dalam kasus kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) beberapa waktu lalu, karena mengacu kepada keputusan Presiden (KEPPRES), yaitu masing-masing KEPPRES No. 89 tahun 2002 tentang harga jual tenaga listrik tahun 2003 yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara dan KEPPRES No. 90 Tahun 2002 tentang harga jual bahan bakar minyak dalam negeri, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah adalah dengan mengajukan hak uji materiel ke Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap kenaikan tarif telepon yang didasarkan pada surat Keputusan Menteri Perhubungan, karena Keputusan Menteri termasuk bellied regel, maka upaya hukum yang dapat dilakukan bukanlah melalui judicial review, tetapi semestinya diajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.

Keputusan dan Upaya Hukumnya
Keputusan merupakan salah satu objek studi penting dalam hukum administrasi, utamanya karena keputusan merupakan objek sengketa yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1986. Di samping itu keputusan merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan untuk melakukan tindakan-tindakannya.
Keputusan pemerintah yang dapat dijadikan obyek gugatan dalam Peradilan TUN tersebut haruslah yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang atau badan hukum perdata. Oleh karena itu, keputusan yang tidak memenuhi kriteria tersebut bukan menjadi kewenangan dari Peradilan TUN.
Lebih tegas lagi, dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) menurut Undang-Undang ini, yaitu :
a. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
b. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
d. KTUN yang masih memerlukan persetujuan
e. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. KTUN mengenai tata usaha ABRI
g. Keputusan panitian pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Di samping itu dalam Hukum Acara menggariskan, bahwa pihak penggugat haruslah yang mempunyai kepentingan hukum baik langsung maupun tidak langsung, sebagaimana tertuang dalam asas point d’interet point d.action. Adapun pihak penggugat dalam hukum acara PTUN, dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju dan langsung terkena kepentingannya oleh suatu KTUN.
2. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, yang meliputi : a. individu-individu yang merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain ; b. organisasi-organisai kemasyarakatan (misalnya YLKI, WALHI dsb.) sebagai pihak ketiga dapat merasa berkepentingan, karena keluarnya suatu KTUN tersebut dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.
3. Badan atau jabatan TUN yang lain yang ikut terkena kepentingannya, namun UU PTUN tidak memberi hak kepada badan atau jabatan TUN untuk menggugat.
Kalau dicermati, pada keputusan kenaikan harga BBM, TDL dan telepon sebenarnya tidak termasuk kriteria sebagai obyek gugatan ke PTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 huruf C UUPTUN, karena keputusan tersebut bersifat umum pengaturannya. Pengaturan yang bersifat umum dalam arti keputusan tersebut belum tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju atau dengan kata lain pengaturannya memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat kepada setiap orang.
Meskipun demikian, apabila dicermati atas dasar pengelompokkan penggugat PTUN di atas, dalam kasus kenaikan TDL, BBM dan telepon, organisasi kemasyarakatan yang memenuhi syarat dapat bertindak pula sebagai pihak penggugat. Dalam hal ini organisasi kemasyarakatan seperti YLKI semestinya dapat mengajukan gugatan legal standing kepada Pemerintah melalui PTUN. Meskipun keputusan pemerintah bersifat umum, tetapi kalau keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan yang diperjuangkan dalam anggaran dasar organisasi kemasyarakatan (misalnya anggaran dasar YLKI) yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen, dapat saja dijadikan alasan pengajuan gugatan ke PTUN. Di Indonesia sudah ada yurisprudensinya, yaitu dalam kasus Keppres tentang dana reboisasi yang digugat legal standing oleh WALHI dapat diterima pengadilan.
Sementara itu kalau berpijak pada ketentuan Pasal 45 dan 46 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara eksplisit menegaskan bahwa seorang atau sekelompok konsumen yang merasa dirugikan serta lembaga perlindungan konsumen yang memenuhi syarat dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini yang membedakan kompetensi pengadilannya adalah pada obyek gugatannya, apabila titik tekannya pada pemulihan ganti rugi maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila yang dituntut berkaitan dengan pencabutan atau pembatalan suatu keputusan, maka menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Salah satu dasar untuk mengajukan gugatan perdata di sini adalah jika ada informasi yang menyesatkan konsumen. Misalnya dalam kasus kenaikan tarif telepon, pengamat telematika, Roy Suryo mengemukakan, PT. Telkom telah melakukan kebohongan publik pada masyarakat dengan mengumumkan bahwa kenaikan tarif telepon hanya sebesar 15 %. Padahal kenaikan tarif telepon rata-rata lebih dari 30%. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan tarif pulsa lokal dari Rp. 195,00 menjadi Rp. 260,00 per menit, atau biaya abonemen yang naik dari Rp. 27.804,00 menjadi Rp. 36.450,00. Dengan perhitungan sederhana, maka persentase kenaikan tarif adalah sekitar 33,33% untuk pulsa lokal dan 31,09% untuk abonemen. Dengan demikian, pengumuman kenaikan tarif Rp. 15% itu dapat dianggap sebagai informasi yang menyesatkan masyarakat. Padahal dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan secara tegas bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur. Sedangkan pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur.

C. Upaya Hukum Class Action dan Legal Standing
Pada hakekatnya, baik upaya hukum melalui class action maupun legal standing adalah cara-cara gugatan yang mewakili kepentingan suatu kelompok tertentu. Kedua cara tersebut dapat dipergunakan dalam upaya untuk menuntut sesuatu hak atau kepentingan sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah yang merugikan, sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Meskipun hukum acara di Indonesia belum mengatur, tetapi sudah ada beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan kedua cara tersebut, baik dalam kasus lingkungan, sengketa konsumen dengan pelaku usaha dan lain-lain.

Gugatan Class Action
Salah satu fenomena baru dalam praktek peradilan di Indonesia akhir-akhir ini adalah munculnya gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok ke pengadilan. Paling tidak sejak tahun 1987, diawali dengan gugatan R.O Tambunan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus “rokok Bentoel”, institusi peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri mulai diwarnai dengan pengajuan gugatan yang oleh penggugatnya dimaksudkan menggunakan prosedur class action.
Gugatan class action tersebut bukanlah sebagaimana gugatan pada umumnya, tetapi merupakan gugatan yang mewakili atau mengatasnamakan kepentingan suatu kelompok yang jumlahnya sangat banyak, yang dirasa lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan prosedur-prosedur lainnya. Dengan satu kali gugatan yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mewakili kepentingan sejumlah orang lainnya, seandainya gugatan dikabulkan, hasil dari putusan langsung dapat dinikmati oleh sejumlah besar orang yang diwakili tersebut. Orang-orang yang diwakili tidak perlu hadir di persidangan semua dan tidak perlu memberikan persetujuan sebelumnya. Sehingga model gugatan semacam ini sebenarnya dapat dijadikan alternatif oleh masyarakat dalam upaya menyelesaikan perkara mereka melalui jalur litigasi ke lembaga peradilan secara lebih sederhana, cepat dan biaya ringan seperti yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.
Lembaga hukum class action tersebut sebenarnya sudah dikenal lama di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Pertama kali diperkenalkan di Inggris sekitar awal abad ke XVIII, yang kemudian berkembang di negara-negara common law lainnya. Secara historis, Indonesia tidak termasuk negara yang menganut sistem hukum common law, karena sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh hukum Belanda, yaitu salah satu negara yang menganut sistem civil law di mana tidak dikenal lembaga class action.
Indonesia telah mengadopsi lembaga ini ke dalam beberapa peraturan, yakni di dalam UU No. 23 Thun 1997 yang mengatur tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta PERMA no. 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Mahkamah Agung terhadap Partai Politik. Meskipun lembaga ini sudah dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi hanya sebatas mengatur kriteria dari class action dan tidak mengatur lebih lanjut hukum acaranya. Tidak mengherankan kalau dalam menghadapi gugatan class action selama ini masing-masing pengadilan menggunakan cara atau pedomannya sendiri-sendiri, sehingga tidak ada keseragama dalam menanganinya. Ada hakim yang menerima gugatan class action dan mengabulkannya, tetapi ada pula yang tidak menerimanya dan menolaknya karena hukum acaranya tidak ada.
Setelah cukup lama ditunggu-tunggu, pada bulan April 2002, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 yang mengatur tentang acara gugatan class action (perwakilan kelompok). Meskipun telah dikeluarkan PERMA tersebut, tetapi substansinya masih sangat sumir, sehingga dalam implementasinya masih mungkin dapat menimbulkan pemahaman dan interpretasi yang beragam.
Menurut Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, suatu gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila :
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Selanjutnya Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyebutkan, selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat :
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok ;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu ;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan rinci
e. Dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Di samping itu, untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, menurut Pasal 4 PERMA tersebut, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Dengan demikian secara umum PERMA 1 Tahun 2002 berupaya meminimalisir hambatan-hambatan prosedural yang diatur dalam hukum acara perdata yang secara substansial memang tidak mengatur tentang gugatan class action.
Seperti dalam kasus kenaikan tarif telepon misalnya, rakyat seharusnya dapat melakukan gugatan perdata secara class action. Dalam hal ini yang mengajukan gugatan haruslah pihak-pihak yang benar-benar dirugikan oleh adanya kebijakan itu. Misalnya berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), di mana harus dtegakkan nilai-nilai kejujuran, kecermatan dan keterbukaan. Oleh karena itu semestinya harus dilakukan terlebih dahulu konsultasi publik sebelum ada kebijakan kenaikan harga. Kalau dapat dibuktikan adanya pelanggaran terhadap AUPB, dapat saja pemerintah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pemerintah dianggap tidak melaksanakan kewajiban hukum yang diharuskan oleh undang-undang untuk menegakkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, untuk bertindak adil, melindungi rakyat miskin dan lain-lain.
Di samping itu harus pula dibuktikan bahwa pemerintah melanggar kewajiban-kewajiban hukum baik yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan maupun kepatutan, sehingga akibat rakyat tidak melakukan kewajibannya, rakyat dirugikan. Selain itu rakyat juga harus dapat membuktikan bahwa mereka secara kongkrit dirugikan, misalnya semula ia naik kendaraan umum hanya membayar sekian rupiah, tetapi setelah ada kenaikan harga ia harus membayar lebih, sedangkan penghasilannya selama ini tidak bertambah.

Gugatan Legal Standing
Di samping gugatan class action, dewasa ini dalam sistem hukum kita dikenal pula asas ius standi atau legal standing. Legal standing dapat diartikan sebagai kualitas atau hak menggugat / berperkara ke pengadilan dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Gugatan legal standing pada dasarnya dapat diajukan baik oleh citizen standing (hak gugat warga) maupun oleh NGO (Non Govermental Organization) yang lebih dikenal dengan istilah ORNOP (Organisasi Non Pemerintah).
Meskipun antara gugatan class action dan legal standing sama-sama bertindak mewakili kepentingan kelompok masyarakat tertentu, tetapi keduanya mempunyai beberapa perbedaan. Pertama, dibedakan dari sisi pihak penggugatnya, apakah pihak penggugat ikut menderita kerugian (sebagai korban) ataukah tidak secara langsung. Apabila penggugatnya merupakan korban / penderita yang dirugikan secara langsung, yang kemudian menggugat ke pengadilan baik mewakili diri sendiri maupun para korban lainnya termasuk kategori gugatan class action. Sedangkan dalam legal standing, penggugat bukanlah korban yang menderita kerugian secara langsung, tetapi hanya mewakili kepentingan kelompok masyarakat atau karena memiliki kepedulian atas masalah yang diperkarakan. Kedua, dalam class action pihak penggugat merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang diwakilinya (class members), sedangkan dalam legal standing pihak penggugat bukan bagian dari kelompok masyarakat yang diwakilinya.
Dengan demikian apabila masyarakat merasa dirugikan oleh suatu kebijakan dan mereka mampu membuktikan bahwa mereka memang benar-benar dirugikan, maka gugatan dapat dilakukan dengan gugatan perdata. Gugatan perdata ini dapat dilakukan melalui legal standing, apabila gugatan dilakukan oleh lembaga yang memang melakukan kegiatan membela kepentingan konsumen, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Beberapa contoh kasus gugatan legal standing lainnya yang pernah diajukan ke pengadilan, antara lain : 1. gugatan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada Presiden, Menhankam/Pangab ABRI, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Tengah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas terjadinya kerusuhan yang bersifat rasial tanggal 13-15 Mei 1998 beberapa waktu yang lalu di Jakarta dan Solo. Gugatan tersebut diajukan karena pada saat terjadinya kerusuhan, aparat tidak ada atau tidak bertindak optimal mengatasi kerusuhan sehingga menimbulkan jatuh korban beberapa warga masyarakat ; 2. gugatan WALHI melawan PT. Inti Indorayon Utama pada tahun 1989 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Walaupun belum diatur dasar hukumnya, ternyata gugatan legal standing ini diterima.
Dalam kasus pertama maupun kedua di atas, baik LSM maupun WALHI tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung, oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan legal standing.

D. Kesimpulan
Dalam menyikapi kebijakan pemerintah terutama yang merugikan rakyat, mekipun pendekatan hukum bukan satu-satunya solusi yang dapat digunakan, tetapi eksistensinya tetap perlu dipertimbangkan di samping upaya-upaya lainnya. Apabila dalam menyikapi perbuatan administrasi negara melalui pendekatan hukum, maka yang perlu dicermati dahulu adalah kebijakan pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan administrasi negara yang mana, karena masing-masing memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Kalau perbuatan pemerintah bentuknya berupa peraturan perundang-undangan (regelling), langkah hukum yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan judicial review baik ke Mahkamah Agung maupun ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Kalau bentuknya berupa suatu keputusan (beschikking), maka kemungkinan (alternatif) yang digunakan, yaitu dengan mengajukan gugatan ke PTUN apabila obyek gugatannya yang berupa keputusan tersebut memenuhi ketentuan Pasal 1 butir 3 dan Pasal 2 UU PTUN serta hukum acara PTUN pada umumnya. Sedangkan kalau perbuatan pemerintah bentuknya berupa perbuatan materiel (materielle daad) dalam lingkup keperdataan, maka pencari keadilan dapat mengajukan gugatan ke lingkungan Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Di samping itu, baik gugatan legal standing maupun class action dapat saja dipergunakan dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh aturan hukum.

Sumber :
http://bambang.staff.uii.ac.id/

PENGACARA YANG BAIK HATI

Sore itu, seorang pengacara sedang mengendarai limousinnya ketika ia melihat dua orang sedang makan rumput di tepi jalan. Ia memerintahkan sopirnya berhenti dan keluar dari mobil.

“Mengapa kalian makan rumput?” tanyanya.

“Kami tidak punya uang buat beli makanan,” jawab yang seorang.

“Oh, kalau begitu kamu ikut aku,” perintah si pengacara.

“Tapi, pak, saya punya istri dan dua orang anak!”

“Bawa mereka juga!” jawab si pengacara, lalu menunjuk orang satunya, “kamu juga ikut aku.”

“Tapi, Pak, anak saya enam!” kata orang kedua.

“Bawa mereka juga!” jawab sang pengacara sambil menuju ke limousinnya.

Mereka semua masuk ke mobil dengan susah payah (padahal limousin sudah termasuk mobil besar lho ….)

Dalam perjalanan, salah satu gelandangan berkata, “Pak, Anda orang yang sangat baik hati. Terima kasih telah bersedia membawa kami semua bersama Anda.”

Jawab si pengacara, “Jangan khawatir, rumput di rumah saya hampir setengah meter tingginya.”

Sumber tulisan:
http://ketawa.com/humor-lucu/det/6071/pengacara_yang_baik_hati.html

Selasa, 24 Februari 2009

7 Kebiasaan yang Memperkaya Hidup

1. Kebiasaan mengucap syukur. Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik , tapi juga dalam kesussahan dan hari-hari yang buruk.. Ada rahasia besar dibalik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun , telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi diseluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku”. Memang sulit untuk bersyukur,namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat , kesehatan, keluarga, sahabat dsb. Lama kelamaan Anda bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.
2. Kebiasaan berpikir positif. Hidup kita dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang Anda pikirkan. Kalau Anda terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera kearah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan Anda alami.
3. Kebiasaan berempati. Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh banyak orang sukses. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain.Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain . Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif dibalik sikap orang lain. Ini berlawanan sekali dengan sikap egois , yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati , namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan apa yang Anda ingin orang lain lakukankepada Anda, dsb.
4. Kebiasaan mendahulukan yang penting . Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah!. Jangan biarkan hidup Anda terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak, kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup Anda efektif dan produktif dan meningkatkan citra diri Anda secara signifikan.
5. Kebiasaan bertindak. Bila Anda sudah mempunyai pengetahuan , sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan , maka langkah selanjutnya adalah bertindak. Biasakan untuk mengahargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Banyak orang yang gagal dalam hidup karena hanya mempunyai impian dan hanya mempunyai tujuan tapi tak mau melangkah.
6. Kebiasaan menabur benih. Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya Anda akan menuai yang Anda tabur. Bayangkanlah , betapa kayanya hidup Anda bila Anda selalu menebar benih ‘kebaikan’. Tapi sebaliknya, betapa miskinnya Anda bila rajin menabur keburukan.
7. Kebiasaan hidup jujur. Tanpa kejujuran , kita tidak bisa menjadi pribadiyang utuh, bahkan bisa merusak harga diri dan masa depan Anda sendiri. Mulailah membiasakan diri bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendir tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila Anda berbohong , kendalikanlah kebohongan Anda sedikit demi sedikit.

Minggu, 15 Februari 2009

DOWNLOAD PP No. 83 Tahun 2008 ?

Mengingat banyak pihak termasuk teman-teman Advokat yang belum membaca PP No. 83 tahun 2008 mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma, maka untuk mengaksesnya dapat mengklik situs dibawah ini :

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=2178&task=detail&catid=3&Itemid=42&tahun=2008

Semoga bermanfaat.

Litbang Peradi Yogyakarta

Selasa, 10 Februari 2009

URGENSI DAN RELEVANSI FILSAFAT HUKUM DALAM PROSES REFORMASI DI INDONESIA

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.
Advokat /
Dosen tetap Fakultas Hukum UII Yogyakarta



Abstract
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia.


A. Pendahuluan
Sudah hampir enam tahun lamanya proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak, reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan massa.
Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya. Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan pendapatnya sesuai dengan versinya masing-masing. Bahkan nampaknya ada kecenderungan di lingkungan para pakar terlalu mendewa-dewakan disiplin bidang keilmuannya sendiri dan seolah-olah memandang rendah disiplin bidang lain. Hal ini dapat terlihat, bahwa pakar yang satu kerap kali mengecam pakar yang lain atau menyalahkan suatu kebijakan tanpa memberikan konsep dan solusi yang lebih jelas. Fenomena semacam ini menggambarkan adanya tanda-tanda arogansi keilmuan seseorang yang kalau dibiarkan lama-lama dapat melahirkan atau mengarahkan pada sikap vak idiot[2].
Banyaknya konsep dan gagasan di atas, ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Justru masyarakat awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi semakin bingung harus mengikuti pendapat yang mana, karena semua pendapat selalu mengaku yang terbaik, meskipun dalam praktik ternyata sulit pula untuk diaplikasikan (non aplicable). Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Betapapun memang harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari krisis ini tidak mudah, karena begitu kompleks permasalahan yang melatarbelakanginya.
Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan tinggi harus mencoba mencari alternatif yang tepat untuk diterapkan mengatasi krisis yang menimpa bangsa Indonesia ini. Dalam kaitan inilah, para pakar, kaum akademisi maupun para praktisi terutama yang berbasis pendidikan tinggi hukum, sebenarnya dapat ikut berpartisipasi memberikan peran dan sumbangan pemikirannya terhadap situasi dan kondisi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini, para sarjana hukum tentunya tidak sekedar melihat persoalan dari pedekatan hukum dalam arti normatif semata, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang lebih mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif melalui pengkajian dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak dari kerangka tinjauan filsafat hukum.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan sumbangan yang dapat diberikan filsafat hukum dalam era reformasi. Dalam wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai krisis yang terjadi dalam masyarakat kita pasca reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiogis ilmu hukum, ruang lingkup objek pengkajian filsafat hukum, serta urgensi dan relevansinya filsafat hukum dalam membantu menyelesaikan krisis yang multidimensional ini.

B. Tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu hukum
Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum itu masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganologikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum.[3]
Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum dalam perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya. Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu hukum yang murni secara teoritis semata-mata (normative) maupun ilmu hukum yang terapan semata-mata (empiris).[4] Integralitas ilmu adalah kebalikan dari spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi ilmu dalam perkembangan ilmu merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang semakin kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan dangkal. Mungkin ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari kenyataan yang dihadapi. Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor disangka itulah gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata uang dan melupakan sisi lainnya.
Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya, yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis.
Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls being is material) [5], sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit) [6]. Pandangan ini menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang (subjek) melihat suatu objek tertentu. Tinjauan epistemologis menyoroti tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Selanjutnya tinjauan aksiologis adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari suatu objek tertentu.
a. Tinjauan Ontologis
Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum, yaitu : (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata, (3) perilaku hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut normwissenschaf atau ilmu tentang kaidah.[7]
Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-kaidah hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi persoalannya adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana yang menjadi perhatian dari ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum. Kedua bidang ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi.[8]
Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut.
b. Tinjauan Epistemologis
Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum tidak didasarkan pada empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya berupa hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa perilaku hukum saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh indra manusia, yakni nilai-nilai hukum. Kebenaran yang dapat dicapai oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan dari obyek dan seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut.
Secara hakekat, ilmu hukum berusaha untuk menampilkan hukum secara integral. Oleh karenanya metode ilmu hukum harus bersifat integral pula. Dalam ilmu hukum pada waktu sekarang sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum (rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum hanya dapat dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan analisa baik filosofis maupun sosiologis.
Dalam perkembangannya, karena para ilmuwan hukum tidak puas dengan metode yang ada, maka muncullah metode multi disipliner atau disipliner, yang merupakan perwujudan dari logika hipotiko-deduktif-verifikatif. Dalam metode ini suatu masalah berusaha dipecahkan atau didekati dari berbagai disiplin baik yang termasuk deduktif maupun induktif. Istilah hipotiko deduktif menempatkan kaidah hukum sebagai hal yang mentah yang perlu untuk dimasukkan kedalam proses “verifikasi” untuk dibuktikan kebenarannya. Dengan mengadakan verifikasi maka suatu hipotesa atau teori seakan-akan dicocokkan dengan fakta-fakta. Menurut Popper, bukan verifikasi yang menjadi kriterium demarkasi antara yang ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah falsifikasi, yakni kemampuan menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper telah mengganti verifikasi yang bersifat induktif dengan falsifikasi yang deduktif.[9]
Secara epistemologis, metode hipotiko-deduktyif-verifikatif dinggap ideal, tetapi dalam praktek penerapannya menjadi pragmatis. Metode tersebut tidak mutlak dipergunakan secara padu. Yang menjadi ukuran dalam penggunaan metode ialah situasi, kepentingan, kebutuhan dan biaya.
Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode, sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berhubungan.
c. Tinjauan Aksiologis
Ilmu hukum bersifat dinamis. Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Secara aksiologis, peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain seperti diuraikan dibawah ini.[10]
Pertama, ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan perundang-undangan. Hasil-hasil penelitian ilmu hukum menjadi masukan untuk menyusun rancangan peundang-undangan.
Kedua, ilmu hukum berpengaruh dalam praktek hukum atau pelaksanaan hukum. dalam rangka peradilan, seorang hakim atau lebih sering memutuskan perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum yang berwibawa sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga jaksa dan pengacara sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaannya.
Ketiga, ilmu hukum berpengaruh dalam pendidikan hukum. Pendidikan hukum yang formal yakni di bangku sekolah dan yang informal di tengah masyarakat lewat media massa dan penyuluhan-penyuluhan sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Seorang mahasiswa di didik oleh seorang pengajar yang mempunyai status sebagai ahli hukum. Seorang ahli hukum mempunyai wawasan yang khas dan pernah sekurang-kurangnya meneliti hukum. Kualitas pengajar akan menentukan kualitas dari mereka yang diajar.
Keempat, ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan dari bidang-bidang yang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau segala bidang, maka sistem seperti itu bersifat progressif dan interventif. Sebab itulah bidang-bidang yang diatur itu memerlukan suatu kejelasan atas pengaturan tersebut.
Kelima, ilmu hukum berusaha untuk mengadakan sistematisasi. Bahan-bahan yang tercerai berai disatukan dalam suatu susunan yang bersifat komprehensif. Hasil sistematisasi menyajikan informasi yang memudahkan. Ilmu hukum juga menyajikan pertimbangan-pertimbangan. Adanya sejumlah data dan sejumlah peraturan tidak cukup bermakna. Semua itu harus dianalisa. Analisa atas suatu peraturan akan memudahkan pemahaman atas peraturan itu.
Dan selanjutnya, ilmu hukum mempunyai fungsi sebagai pencerah terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum adakalanya diabaikan bukan semata-mata demi hukum tetapi untuk sesuatu yang lebih mulia yakni terwujudnya keadilan yang diridhloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi memberikan pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru.

C. Objek pengkajian filsafat hukum
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri. [11]
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[12]
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn[13], hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan[14], mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro[15], yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo[16] berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto[17] dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn[18], menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi[19] menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3) apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ; (7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.

D. Urgensi dan relevansi filsafat hukum
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :[20]
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.[21] Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri[22], bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.[23]
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret.[24] Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.[25]
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.[26]
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.[27]
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat ini.

E. Kesimpulan
Penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia tidak mungkin dapat dilaksanakan melalui pendekatan sepihak yang bertumpu pada satu persepsi atau bidang ilmu tertentu saja. Karena kalau itu yang terjadi, maka masing-masing pihak akan merasa bahwa pendapatnya yang paling benar dan cenderung meremehkan pendapat dari pihak lain. Oleh karena itu perlu adanya pendekatan yang lebih komprehensif dan integral, yaitu dengan pendekatan dan analisis filsafati. Karena pada dasarnya, semua bidang ilmu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, sehingga sudah seharusnya saling melengkapi satu sama lain. Filsafat dapat digunakan untuk menjembatani permasalahan ini.
Dan bagi kalangan cendekiawan, akademisi maupun praktisi yang menekuni dunia hukum, dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui berbagai cara, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum yang bercirikan antara lain kritis, radikal, reflektif, introspektif dan universal. Adanya karakteristik dan nilai-nilai seperti itulah, sekaligus yang menunjukkan urgensi dan relevansinya, ketika pendekatan filsafat hukum menjadi pilihan.

Catatan Kaki :
[1] Dosen tetap Fakultas Hukum UII Yogyakarta
[2] Sikap vak idiot adalah suatu sikap yang amat fanatik atau tergila-gila terhadap suatu keyakinan, bidang keahlian atau keilmuan yang dimiliki. Apapun yang terjadi maka pendapatnyalah yang dianggap paling benar.
[3] Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 58.
[4] Ibid.
[5] Pendapat ini dikemukakan oleh aliran Materialisme, yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerokhanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh-tokoh aliran Materialisme ini antara lain Demokritos dan Thomas Hobbes.
[6] Dikemukakan oleh ajaran Spiritualisme, yang menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah roh (pneuma, nous, reason), yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiritualisme dalam arti ini dilawankan dengan Materialisme. Aliran Spiritualisme juga disebut Idealisme (serba cita). Pelopor aliran ini antara lain Plato dan Leibniz.
[7] Sugiyanto Darmadi, Op. Cit., hlm. 59.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm. 62. Lihat pula tulisan Karl Popper, 1985, Gagalnya Historisisme, Terjemahan Hena Suprapto, Jakarta : LP3ES, hlm. 14.
[10] Ibid. hlm. 67. et. seq.
[11] Ibid. hlm 18.
[12] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 10-11.
[13]van Apeldorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. ke 22, Jakarta : Pradnya Paramita, hlm. 439 et. seq.
[14]J. van Kan, 1983, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Moh. O. Masdoeki), Cet. ke-10, Jakarta : PT. Pembangunan-Ghalia Indonesia, hlm. 13.
[15]Wiryono Prodjodikoro, 1992, Perbuatan Melanggar Hukum, Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, cet. ke-8, Bandung ; Sumur Bandung, hlm. 9.
[16]Notohamidjoyo, 1975, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Yogyakarta : BPK Gunung Mulia, hlm. 21.
[17] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1986, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, cet. ke-4, Bandung : Alumni, hlm. 2-4.
[18] van Apeldorn, op. cit., hlm. 441.
[19] Lili Rasyidi, 1988, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu? Cet. ke-4, Bandung : Remaja Karya, hlm. 8-9.
[20]Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, 1997, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten : Intan Pariwara, hlm. 17 et. seq.
[21] Lihat Darji Darmodiharjo, et.al., Op. Cit., hlm. 16 et. seq. Bandingkan juga dengan tulisan Sugiyanto Darmadi, Op. Cit., hlm. 16 et. seq.
[22] Suriasumantri, 1985, Filsafat Ilmu, sebuah Pengantar Populer, Cet. ke-2, Jakarta : Sinar Harapan, hlm. 22.
[23] Sugiyanto Darmadi, Op. Cit., hlm. 18
[24] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hlm. 17.
[25] Sugiyanto Darmadi, Op. Cit., hlm. 18-19.
[26] Ibid.
[27] Poerwantana, et. al., 1988, Seluk Beluk Filsafat Islam, Rosda Karya, Bandung, hlm. 8.