Sabtu, 30 Mei 2009

ALTERNATIF MENYIKAPI KEBIJAKAN PEMERINTAH

Oleh :
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum.

ABSTRACT
Dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam perspektif hukum, upaya yang dibenarkan dalam memperjuangkan hak dan kepentingan adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan main dan koridor hukum. Meskipun pendekatan hukum bukan satu-satunya solusi, tetapi eksistensinya sangat diperlukan, terutama sebagai sarana justivikasi yang dapat mendukung dan bersinergi dengan upaya-upaya lainnya. Apabila pendekatan hukum yang kemudian menjadi pilihan, maka yang perlu dicermati adalah kebijakan pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan pemerintah yang mana, karena masing-masing tentunya memiliki implikasi hukum yang berbeda.

A. Pendahuluan
Apabila rakyat ditanya tentang bagaimanakah sosok pemerintahan yang diinginkan, tentu semua menghendaki agar negara dikelola dan diurus oleh pemerintahan yang baik. Alasannya sederhana, pemerintahan yang baik (good governance) senantiasa berbuat yang terbaik bagi rakyat dan bangsanya, yaitu berupaya memikirkan bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup lebih sejahtera dan bangsanya mempunyai martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa yang lain.
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan rakyat. Yang terjadi kemudian bisa ditebak, rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Bahkan banyak rezim otoriter di dunia dapat dijatuhkan karena demonstrasi rakyatnya, seperti di Philipina, Korea Selatan dan lain-lain. Kekuasaan Orde Barupun yang bercokol selama lebih 32 tahun, akhirnya runtuh dari panggung kekuasaan politik karena akumulasi desakan rakyat yang antara lain dilakukan melalui demonstrasi.
Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, di antaranya kasus kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), telepon, kasus Freeport di Timika, Blok Cepu yang akhirnya dikuasai pihak Exxon Mobil dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Khusus mengenai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) secara resmi pemerintah akhirnya bersedia juga membatalkan kenaikan tarif dasar listrik paling tidak untuk sementara waktu tahun 2006 ini.
Dalam perspektif hukum, cara-cara yang dibenarkan dalam memperjuangkan hak dan kepentingan adalah cara-cara yang sesuai dengan aturan main dan koridor hukum. Dalam konteks itulah, upaya menolak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan rakyat banyak, di samping dapat digunakan cara seperti dialog dan demonstrasi, tetapi tidak kalah pentingnya dengan menggunakan cara pendekatan hukum (legal approach). Pendekatan hukum merupakan cara yang relatif lebih proporsional, elegan dan legitimate, dengan tingkat resiko yang minimal dalam menimbulkan jatuh korban, meskipun cara ini umumnya memakan waktu lebih lama. Pendekatan hukum ini juga merupakan sarana justivikasi, yang dapat mendukung dan bersinergi dengan cara-cara lain yang telah ditempuh, untuk “menggoalkan” suatu tujuan.
Apabila yang hendak ditempuh melalui pendekatan hukum, ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dicermati lebih lanjut. Pertama, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan administrasi negara yang mana, apakah dituangkan dalam bentuk surat keputusan ataukah dalam bentuk lainnya? Hal ini tentu akan membawa konsekwensi hukum yang berbeda. Kedua, mengingat pada umumnya kebijakan pemerintah tersebut merugikan kepentingan rakyat banyak, langkah atau tuntutan hukum manakah yang paling tepat digunakan? Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya mengkaji dan membahas beberapa permasalahan tersebut.

B. Kategori Perbuatan Pemerintah
Perbuatan pemerintah atau administrasi negara pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga macam : a. mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling) ; b. mengeluarkan keputusan (beschikking), dan ; c. melakukan perbuatan material (materielle daad). Dalam melakukan perbuatan tersebut, pemerintah tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian terhadap warga masyarakat.
Dari ketiga macam perbuatan pemerintah tersebut, masing-masing mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan atau sering disebut hak menguji materiel (judicial review) berdasarkan Pasal 11 ayat (2b) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Sementara itu, apabila mendasarkan pada Pasal 24C UUD 1945 dan ketentuan Pasal 10 ayat (1a) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan melakukan judicial review juga dimiliki Mahkamah Konstitusi, yang mempunyai tugas dan kewenangan di antaranya adalah memeriksa, mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia .
Selanjutnya apabila menyangkut perbuatan mengeluarkan keputusan (beschikking) yang mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan kewenangan untuk menilai perbuatan materiel diserahkan kepada peradilan umum yang didasarkan pada penafsiran yang luas dari pasal 1365 KUH Perdata.

Judicial Review
Kewenangan menilai peraturan perundang-undangan (judicial review) sekarang ini dengan keluarnya TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah ada kemajuan yang cukup signifikan. Karena pengujian peraturan perundang-undangan bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi. Sebelumnya menurut Pasal 26 ayat (2) UU No. 14 tahun 1970 dan UU No. 14 tahun 1985, pengujian peraturan perundang-undangan bersifat pasif dan dapat dilakukan berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pada dasarnya Judicial review hanya dapat dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan hierarkhi yang ada. Sedang tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sekarang ini lebih sederhana sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari : 1. UUD 1945 ; 2. Undang-Undang/PERPU ; 3. Peraturan Pemerintah ; 5. Peraturan Presiden (PERPRES) ; 5. Peraturan Daerah (PERDA). Di luar ketentuan hierarkhi peraturan perundang-undangan tersebut, seperti halnya Keputusan Menteri adalah termasuk dalam kategori sebagai peraturan kebijakan (bellied regel), oleh karenanya sesuai aturan main tidak dapat dimintakan judicial review ke Mahkamah Agung. Upaya hukum terhadap peraturan kebijakan (bellied regel) yang dianggap merugikan dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke PTUN atau dapat pula digugat melalui Peradilan Umum apabila keputusannya bersifat keperdataan.
Seperti dalam kasus kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) beberapa waktu lalu, karena mengacu kepada keputusan Presiden (KEPPRES), yaitu masing-masing KEPPRES No. 89 tahun 2002 tentang harga jual tenaga listrik tahun 2003 yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara dan KEPPRES No. 90 Tahun 2002 tentang harga jual bahan bakar minyak dalam negeri, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah adalah dengan mengajukan hak uji materiel ke Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap kenaikan tarif telepon yang didasarkan pada surat Keputusan Menteri Perhubungan, karena Keputusan Menteri termasuk bellied regel, maka upaya hukum yang dapat dilakukan bukanlah melalui judicial review, tetapi semestinya diajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.

Keputusan dan Upaya Hukumnya
Keputusan merupakan salah satu objek studi penting dalam hukum administrasi, utamanya karena keputusan merupakan objek sengketa yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1986. Di samping itu keputusan merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan untuk melakukan tindakan-tindakannya.
Keputusan pemerintah yang dapat dijadikan obyek gugatan dalam Peradilan TUN tersebut haruslah yang memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang atau badan hukum perdata. Oleh karena itu, keputusan yang tidak memenuhi kriteria tersebut bukan menjadi kewenangan dari Peradilan TUN.
Lebih tegas lagi, dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) menurut Undang-Undang ini, yaitu :
a. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
b. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
d. KTUN yang masih memerlukan persetujuan
e. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. KTUN mengenai tata usaha ABRI
g. Keputusan panitian pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Di samping itu dalam Hukum Acara menggariskan, bahwa pihak penggugat haruslah yang mempunyai kepentingan hukum baik langsung maupun tidak langsung, sebagaimana tertuang dalam asas point d’interet point d.action. Adapun pihak penggugat dalam hukum acara PTUN, dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju dan langsung terkena kepentingannya oleh suatu KTUN.
2. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, yang meliputi : a. individu-individu yang merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain ; b. organisasi-organisai kemasyarakatan (misalnya YLKI, WALHI dsb.) sebagai pihak ketiga dapat merasa berkepentingan, karena keluarnya suatu KTUN tersebut dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.
3. Badan atau jabatan TUN yang lain yang ikut terkena kepentingannya, namun UU PTUN tidak memberi hak kepada badan atau jabatan TUN untuk menggugat.
Kalau dicermati, pada keputusan kenaikan harga BBM, TDL dan telepon sebenarnya tidak termasuk kriteria sebagai obyek gugatan ke PTUN berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 huruf C UUPTUN, karena keputusan tersebut bersifat umum pengaturannya. Pengaturan yang bersifat umum dalam arti keputusan tersebut belum tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju atau dengan kata lain pengaturannya memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat kepada setiap orang.
Meskipun demikian, apabila dicermati atas dasar pengelompokkan penggugat PTUN di atas, dalam kasus kenaikan TDL, BBM dan telepon, organisasi kemasyarakatan yang memenuhi syarat dapat bertindak pula sebagai pihak penggugat. Dalam hal ini organisasi kemasyarakatan seperti YLKI semestinya dapat mengajukan gugatan legal standing kepada Pemerintah melalui PTUN. Meskipun keputusan pemerintah bersifat umum, tetapi kalau keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan yang diperjuangkan dalam anggaran dasar organisasi kemasyarakatan (misalnya anggaran dasar YLKI) yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen, dapat saja dijadikan alasan pengajuan gugatan ke PTUN. Di Indonesia sudah ada yurisprudensinya, yaitu dalam kasus Keppres tentang dana reboisasi yang digugat legal standing oleh WALHI dapat diterima pengadilan.
Sementara itu kalau berpijak pada ketentuan Pasal 45 dan 46 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara eksplisit menegaskan bahwa seorang atau sekelompok konsumen yang merasa dirugikan serta lembaga perlindungan konsumen yang memenuhi syarat dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini yang membedakan kompetensi pengadilannya adalah pada obyek gugatannya, apabila titik tekannya pada pemulihan ganti rugi maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila yang dituntut berkaitan dengan pencabutan atau pembatalan suatu keputusan, maka menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Salah satu dasar untuk mengajukan gugatan perdata di sini adalah jika ada informasi yang menyesatkan konsumen. Misalnya dalam kasus kenaikan tarif telepon, pengamat telematika, Roy Suryo mengemukakan, PT. Telkom telah melakukan kebohongan publik pada masyarakat dengan mengumumkan bahwa kenaikan tarif telepon hanya sebesar 15 %. Padahal kenaikan tarif telepon rata-rata lebih dari 30%. Hal ini bisa dilihat dari kenaikan tarif pulsa lokal dari Rp. 195,00 menjadi Rp. 260,00 per menit, atau biaya abonemen yang naik dari Rp. 27.804,00 menjadi Rp. 36.450,00. Dengan perhitungan sederhana, maka persentase kenaikan tarif adalah sekitar 33,33% untuk pulsa lokal dan 31,09% untuk abonemen. Dengan demikian, pengumuman kenaikan tarif Rp. 15% itu dapat dianggap sebagai informasi yang menyesatkan masyarakat. Padahal dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan secara tegas bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur. Sedangkan pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur.

C. Upaya Hukum Class Action dan Legal Standing
Pada hakekatnya, baik upaya hukum melalui class action maupun legal standing adalah cara-cara gugatan yang mewakili kepentingan suatu kelompok tertentu. Kedua cara tersebut dapat dipergunakan dalam upaya untuk menuntut sesuatu hak atau kepentingan sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah yang merugikan, sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Meskipun hukum acara di Indonesia belum mengatur, tetapi sudah ada beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan kedua cara tersebut, baik dalam kasus lingkungan, sengketa konsumen dengan pelaku usaha dan lain-lain.

Gugatan Class Action
Salah satu fenomena baru dalam praktek peradilan di Indonesia akhir-akhir ini adalah munculnya gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok ke pengadilan. Paling tidak sejak tahun 1987, diawali dengan gugatan R.O Tambunan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus “rokok Bentoel”, institusi peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri mulai diwarnai dengan pengajuan gugatan yang oleh penggugatnya dimaksudkan menggunakan prosedur class action.
Gugatan class action tersebut bukanlah sebagaimana gugatan pada umumnya, tetapi merupakan gugatan yang mewakili atau mengatasnamakan kepentingan suatu kelompok yang jumlahnya sangat banyak, yang dirasa lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan prosedur-prosedur lainnya. Dengan satu kali gugatan yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mewakili kepentingan sejumlah orang lainnya, seandainya gugatan dikabulkan, hasil dari putusan langsung dapat dinikmati oleh sejumlah besar orang yang diwakili tersebut. Orang-orang yang diwakili tidak perlu hadir di persidangan semua dan tidak perlu memberikan persetujuan sebelumnya. Sehingga model gugatan semacam ini sebenarnya dapat dijadikan alternatif oleh masyarakat dalam upaya menyelesaikan perkara mereka melalui jalur litigasi ke lembaga peradilan secara lebih sederhana, cepat dan biaya ringan seperti yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.
Lembaga hukum class action tersebut sebenarnya sudah dikenal lama di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Pertama kali diperkenalkan di Inggris sekitar awal abad ke XVIII, yang kemudian berkembang di negara-negara common law lainnya. Secara historis, Indonesia tidak termasuk negara yang menganut sistem hukum common law, karena sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh hukum Belanda, yaitu salah satu negara yang menganut sistem civil law di mana tidak dikenal lembaga class action.
Indonesia telah mengadopsi lembaga ini ke dalam beberapa peraturan, yakni di dalam UU No. 23 Thun 1997 yang mengatur tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta PERMA no. 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Mahkamah Agung terhadap Partai Politik. Meskipun lembaga ini sudah dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi hanya sebatas mengatur kriteria dari class action dan tidak mengatur lebih lanjut hukum acaranya. Tidak mengherankan kalau dalam menghadapi gugatan class action selama ini masing-masing pengadilan menggunakan cara atau pedomannya sendiri-sendiri, sehingga tidak ada keseragama dalam menanganinya. Ada hakim yang menerima gugatan class action dan mengabulkannya, tetapi ada pula yang tidak menerimanya dan menolaknya karena hukum acaranya tidak ada.
Setelah cukup lama ditunggu-tunggu, pada bulan April 2002, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 yang mengatur tentang acara gugatan class action (perwakilan kelompok). Meskipun telah dikeluarkan PERMA tersebut, tetapi substansinya masih sangat sumir, sehingga dalam implementasinya masih mungkin dapat menimbulkan pemahaman dan interpretasi yang beragam.
Menurut Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, suatu gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila :
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Selanjutnya Pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2002 menyebutkan, selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat :
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok ;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu ;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan rinci
e. Dalam satu gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Di samping itu, untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, menurut Pasal 4 PERMA tersebut, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Dengan demikian secara umum PERMA 1 Tahun 2002 berupaya meminimalisir hambatan-hambatan prosedural yang diatur dalam hukum acara perdata yang secara substansial memang tidak mengatur tentang gugatan class action.
Seperti dalam kasus kenaikan tarif telepon misalnya, rakyat seharusnya dapat melakukan gugatan perdata secara class action. Dalam hal ini yang mengajukan gugatan haruslah pihak-pihak yang benar-benar dirugikan oleh adanya kebijakan itu. Misalnya berdasarkan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), di mana harus dtegakkan nilai-nilai kejujuran, kecermatan dan keterbukaan. Oleh karena itu semestinya harus dilakukan terlebih dahulu konsultasi publik sebelum ada kebijakan kenaikan harga. Kalau dapat dibuktikan adanya pelanggaran terhadap AUPB, dapat saja pemerintah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pemerintah dianggap tidak melaksanakan kewajiban hukum yang diharuskan oleh undang-undang untuk menegakkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, untuk bertindak adil, melindungi rakyat miskin dan lain-lain.
Di samping itu harus pula dibuktikan bahwa pemerintah melanggar kewajiban-kewajiban hukum baik yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan maupun kepatutan, sehingga akibat rakyat tidak melakukan kewajibannya, rakyat dirugikan. Selain itu rakyat juga harus dapat membuktikan bahwa mereka secara kongkrit dirugikan, misalnya semula ia naik kendaraan umum hanya membayar sekian rupiah, tetapi setelah ada kenaikan harga ia harus membayar lebih, sedangkan penghasilannya selama ini tidak bertambah.

Gugatan Legal Standing
Di samping gugatan class action, dewasa ini dalam sistem hukum kita dikenal pula asas ius standi atau legal standing. Legal standing dapat diartikan sebagai kualitas atau hak menggugat / berperkara ke pengadilan dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Gugatan legal standing pada dasarnya dapat diajukan baik oleh citizen standing (hak gugat warga) maupun oleh NGO (Non Govermental Organization) yang lebih dikenal dengan istilah ORNOP (Organisasi Non Pemerintah).
Meskipun antara gugatan class action dan legal standing sama-sama bertindak mewakili kepentingan kelompok masyarakat tertentu, tetapi keduanya mempunyai beberapa perbedaan. Pertama, dibedakan dari sisi pihak penggugatnya, apakah pihak penggugat ikut menderita kerugian (sebagai korban) ataukah tidak secara langsung. Apabila penggugatnya merupakan korban / penderita yang dirugikan secara langsung, yang kemudian menggugat ke pengadilan baik mewakili diri sendiri maupun para korban lainnya termasuk kategori gugatan class action. Sedangkan dalam legal standing, penggugat bukanlah korban yang menderita kerugian secara langsung, tetapi hanya mewakili kepentingan kelompok masyarakat atau karena memiliki kepedulian atas masalah yang diperkarakan. Kedua, dalam class action pihak penggugat merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang diwakilinya (class members), sedangkan dalam legal standing pihak penggugat bukan bagian dari kelompok masyarakat yang diwakilinya.
Dengan demikian apabila masyarakat merasa dirugikan oleh suatu kebijakan dan mereka mampu membuktikan bahwa mereka memang benar-benar dirugikan, maka gugatan dapat dilakukan dengan gugatan perdata. Gugatan perdata ini dapat dilakukan melalui legal standing, apabila gugatan dilakukan oleh lembaga yang memang melakukan kegiatan membela kepentingan konsumen, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Beberapa contoh kasus gugatan legal standing lainnya yang pernah diajukan ke pengadilan, antara lain : 1. gugatan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada Presiden, Menhankam/Pangab ABRI, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Tengah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas terjadinya kerusuhan yang bersifat rasial tanggal 13-15 Mei 1998 beberapa waktu yang lalu di Jakarta dan Solo. Gugatan tersebut diajukan karena pada saat terjadinya kerusuhan, aparat tidak ada atau tidak bertindak optimal mengatasi kerusuhan sehingga menimbulkan jatuh korban beberapa warga masyarakat ; 2. gugatan WALHI melawan PT. Inti Indorayon Utama pada tahun 1989 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Walaupun belum diatur dasar hukumnya, ternyata gugatan legal standing ini diterima.
Dalam kasus pertama maupun kedua di atas, baik LSM maupun WALHI tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung, oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan legal standing.

D. Kesimpulan
Dalam menyikapi kebijakan pemerintah terutama yang merugikan rakyat, mekipun pendekatan hukum bukan satu-satunya solusi yang dapat digunakan, tetapi eksistensinya tetap perlu dipertimbangkan di samping upaya-upaya lainnya. Apabila dalam menyikapi perbuatan administrasi negara melalui pendekatan hukum, maka yang perlu dicermati dahulu adalah kebijakan pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan administrasi negara yang mana, karena masing-masing memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Kalau perbuatan pemerintah bentuknya berupa peraturan perundang-undangan (regelling), langkah hukum yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan judicial review baik ke Mahkamah Agung maupun ke Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Kalau bentuknya berupa suatu keputusan (beschikking), maka kemungkinan (alternatif) yang digunakan, yaitu dengan mengajukan gugatan ke PTUN apabila obyek gugatannya yang berupa keputusan tersebut memenuhi ketentuan Pasal 1 butir 3 dan Pasal 2 UU PTUN serta hukum acara PTUN pada umumnya. Sedangkan kalau perbuatan pemerintah bentuknya berupa perbuatan materiel (materielle daad) dalam lingkup keperdataan, maka pencari keadilan dapat mengajukan gugatan ke lingkungan Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Di samping itu, baik gugatan legal standing maupun class action dapat saja dipergunakan dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat sepanjang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh aturan hukum.

Sumber :
http://bambang.staff.uii.ac.id/

PENGACARA YANG BAIK HATI

Sore itu, seorang pengacara sedang mengendarai limousinnya ketika ia melihat dua orang sedang makan rumput di tepi jalan. Ia memerintahkan sopirnya berhenti dan keluar dari mobil.

“Mengapa kalian makan rumput?” tanyanya.

“Kami tidak punya uang buat beli makanan,” jawab yang seorang.

“Oh, kalau begitu kamu ikut aku,” perintah si pengacara.

“Tapi, pak, saya punya istri dan dua orang anak!”

“Bawa mereka juga!” jawab si pengacara, lalu menunjuk orang satunya, “kamu juga ikut aku.”

“Tapi, Pak, anak saya enam!” kata orang kedua.

“Bawa mereka juga!” jawab sang pengacara sambil menuju ke limousinnya.

Mereka semua masuk ke mobil dengan susah payah (padahal limousin sudah termasuk mobil besar lho ….)

Dalam perjalanan, salah satu gelandangan berkata, “Pak, Anda orang yang sangat baik hati. Terima kasih telah bersedia membawa kami semua bersama Anda.”

Jawab si pengacara, “Jangan khawatir, rumput di rumah saya hampir setengah meter tingginya.”

Sumber tulisan:
http://ketawa.com/humor-lucu/det/6071/pengacara_yang_baik_hati.html